Tuesday, April 25, 2017

Deo Volente, belum berhasil



Aku sedih pagi ini. Kesedihan yang tidak boleh ditunjukkan. Kesedihan yang harus dibalut dengan senyuman karena tugas dan kewajiban. Ketika mata ini mulai perih namun harus tetap menyapa dengan ramah. Hati sesak karena perasaan itu terus bergejolak, sekalipun berusaha ditutupi dengan ketegaran. Suara parau ku setiap kali menyapa peserta, menandakan belum siap sesungguhnya aku menerima kenyataan ini.
Tapi matahari tak berhenti di senyapnya malam. Waktu tak lelah terus bergerak. Dan aku tak ada pilihan selain terus melanjutkan nafas, meski nafas itu terasa lebih berat hari ini. Aku harus terus tegap, sekalipun lemah.
Jam 3 pagi tadi, aku terbangun karena mendengar ketukan pintu dan suara : “Mbak ike..” memanggilku. Tapi itu ternyata cuma mimpi, tidak ada seorangpun sepagi itu mengetuk pintu rumahku, apalagi memanggilku dengan sebutan “mbak ike”, di rumahku di Bekasi ini.
Beberapa detik kemudian aku ingat bahwa hari ini aku ada rencana untuk testpack, karena sudah sekitar 5 hari terlambat datang bulan. Setelah insem pertama yang kujalani bulan lalu, keterlambatan datang bulan ini memang aku nanti-nantikan. Apalagi ditambah dengan beberapa tanda kehamilan lain seperti : perut sering mual, badan lemes, gampang letih, jerawat muncul jauh lebih banyak (dan ini ga normal buat aku), aku sudah optimis bahwa aku hamil.
Namun, aliran warna merah yang mengucur bersamaan dengan pipisku sekejap meruntuhkan semua harapanku. Segera aku cek celana dalamku, dan… flek warna merah tanda datang bulan itu bagaikan bencana di pagi buta. Aku masih belum percaya, bahkan pipis yang sudah bercampur darah itu pun aku tes juga menggunakan test pack yang sudah kusiapkan sebelumnya.
Menunggu rembesan yang bergerak dari ujung testpack hingga batas bertanda khusus itu seperti menunggu sebuah bom yang meledak di kepalaku. Hingga beberapa waktu kupandangi batang kecil itu, masih berharap munculnya garis kedua. Namun, garis yang sudah kunantikan sejak 4,5 tahun ini tak muncul juga.
Sejurus kemudian aku berlari menuju kamar dan tak bisa menahan tangisku yang pedih ini. Menangis tersedu-sedu, sambil mencari siapa yang pantas disalahkan, dan tak pernah kutemukan. Yang bersalah itu tidak pernah ada. Ingin marah sama seseorang (atau sesuatu) tapi siapa? Pengen benci sama keadaan, tapi mungkinkah? Selama sekitar 20 menit aku hanya bisa menangis tanpa kejelasan.
Setelah 20 menit yang terasa lebih panjang itu, aku mulai bisa mengendalikan diri, dan masih dengan menangis aku keluar kamar, menuju suamiku yang malam itu tertidur di ruang tamu sambil menonton TV, seperti biasa. Lalu aku meneruskan episode tangisan itu di depannya. Di depan sosok yang selalu ada di sampingku dan menguatkanku.
Sejujurnya, aku ga mau terlihat patah hati di depannya seperti itu, karena aku tahu dia pun mengalami dan merasakan hal yang sama pedihnya. Aku tahu banget suamiku berharap besar untuk mendapatkan keturunan melalui proses inseminasi ini. Itu juga karena aku selalu menginformasikan setiap tanda-tanda aneh yang terjadi sejak masa insem hingga sekarang (yang aku definisikan sebagai tanda kehamilan).
Aku tahu, suamiku pun tak kalah sedihnya dengan diriku pagi ini. Namun, hebatnya dia, ga mau nunjukkin di depanku. Aku tahu semua usahanya untuk tetap kuat di depan aku, dia pasti berusaha keras untuk menutupi kepedihan hatinya, demi bisa nguatin aku.
Tetiba aku teringat kotbah di ibadah minggu lalu, yang mengatakan bahwa Tuhan menyediakan segala yang kita butuhkan untuk menghadapi kondisi dan keadaan apapun yang Dia percayakan terjadi dalam hidup kita. Saat itu aku memaknainya dengan kekhawatiranku akan masa depan, jika aku benar hamil. Aku khawatir ketika membayangkan aku hamil dengan kembar 3 (karena hasil cek sel telurku yang bagus ada 3 waktu itu), sanggupkah aku mengurus anak-anakku, sementara sekarang ini saja dengan pekerjaan dan aktifitasku, tidak banyak waktu untuk aku berada di rumah.
Dan aku dikuatkan dengan kotbah tersebut, pasti Tuhan akan menyediakan yang aku butuhkan dan menyanggupkan aku melalui segala keadaan, sekalipun tidak masuk ke akal manusia, membesarkan 3 orang anak kembar dengan tetap bekerja.
Ternyata kotbah itu bukan untuk kondisi membesarkan 3 anak kembar. Kotbah itu ditujukan untuk hari ini, hari yang lemah ini. Jika Tuhan mengijinkan aku melewati hari ini, Tuhan juga yang sudah memberikan dan menyediakan kekuatan untuk aku dan suamiku. Biarlah itu saja yang kuyakini. Semoga aku benar merasakan kekuatan dariNya menghadapi setiap rencana indah yang berliku ini.
Deo Volente. Jika Tuhan menghendaki.

Sunday, January 31, 2016

Terlalu Cepat

Terkadang,orang terlalu cepat menilai.
Lalu kemudian,orang menjadi terlalu cepat bereaksi.
Sejurus kemudian,orang terlalu cepat merespon.
Dimanakah rem dari tindakan kita,analisa yang memperlambat dan membuat kita lebih berhati-hati dalam menyikapi. Sudah terlalu sulitkah orang untuk berdiam,mengamati,jika perlu meneliti,baru kemudian memberi penilaian.
Bukankah orang yang terlalu cepat cenderung kurang berhati-hati. Orang yang terlalu cepat bisa melukai,orang lain,pun diri sendiri.
Hati-hati,jika kau terlalu cepat mengambil kesimpulan,saat ini.

Thursday, November 26, 2015

Pedih yang kuat

Kepedihan. Kadang Tuhan ijinkan ada,supaya kita berdiam,dalam linang,dan membayang. Merenung dalam hening,dan mencari. Mengisak,dalam sesak,hingga terdesak. Terdesak oleh gemuruhnya pemikiran dan perdebatan otak. Mencari dalam imaji,apa mauNya hingga semua terjadi.
Lalu,menemukan kelegaan ketika bertelut dalam pasrah yang bercampur resah. Setetes kemilau yang menuntun ke arah cahaya.
Sedikit demi sekelumit,tersibak tirai yang tadinya mendung,berganti pelangi asa membentang di sana.
Setiap kepedihan akan bisa berakhir dengan kisah senada. Asal kita bukan berpijak pada ego yang rapuh seperti kayu yang tergerogoti para rayap. Asal kita mau bersimpuh rendah dalam keagungan kasihNya. Asal mata kita terfokus padaNya. Ya,hanya kita dan Dia,tanpa terkontaminasi pihak ketiga yang tak kan pernah menghantar bahagia.
Selamat bertelut. Selamat menikmati lega dan tenaga.

Wednesday, August 5, 2015

Aku dan Dunia

Kalau aku masih ada di dunia ini dan tak berbuat apa-apa untuk membuatnya lebih baik, lalu buat apa?
Kalau aku masih diberi nafas dan tak menggunakan dayaku untuk mewarnai dunia, lalu buat apa?
Kalau aku masih diberi melihat, dan tidak memperbaiki hal buruk yang aku lihat, lalu buat apa?
Kalau aku masih diberi telinga, dan suara sumbang tak menjadi jernih, lalu buat apa?
Kalau aku masih diberi hati, dan tangisan orang tak kuhibur, lalu buat apa?
Kalau aku masih diberi sepasang tangan, dan tak juga mengulurkan bantuan, lalu buat apa?
Kalau aku masih diberi dua kaki, dan tak kuhampiri luka untuk dibalut, lalu buat apa?

Kalau aku masih hidup dan berada di dunia yang masih butuh kasih, dan kemudian warna yang kutebar bukanlah warna sukacita namun justru gelap gempita... aku tak beda dengan kotoran yang pantas dibuang dan dihilangkan.

Bersujud hatiku memohon ampun untuk setiap laku, pikir dan kata, yang masih tak berdaya melawan desakan dunia. Bukan ini yang Dia minta.
Bersimpuh kakiku menundukkan diri merasa hina, seraya memohon kekuatan. Bukan dari dunia, tapi dari Dia yang menjadikanku ada di dunia.

Thursday, July 23, 2015

Asertif dan Kisah Setoples Kue [BG-02]



Lagi-lagi karena beloman nulis khusus untuk blog ini, saya posting tulisan saya untuk BusinessGrowth, yah... seperti yang pernah ditulis di sini...

Hari yang padat dirasakan oleh Anita di Senin itu. Setelah meeting yang melelahkan bersama beberapa klien, Anita menunggu sopirnya menjemput di sebuah taman kota tak jauh dari meeting terakhirnya. Demi mengusir rasa bosan menunggu, perempuan separuh baya itu membeli setoples kue di toko kue terdekat dari tempat itu.
Sekembalinya dari toko kue, dengan langkah lelahnya, menuju ke sebuah bangku taman yang saat itu masih kosong. Anita segera mengambil dan mulai membaca sebuah buku yang selalu dibawa di dalam tasnya, senjata lain untuk mengusir kebosanan, dan memanfaatkan waktu menunggu. 
Baru saja dia membuka halaman pertama buku itu, seorang pemuda mendekatinya, dan dengan bahasa tubuhnya tersenyum seraya meminta ijin untuk duduk di sebelahnya. Anita membalas dengan senyuman tanda mengijinkan pemuda tersebut untuk berbagi bangku. Sambil terus membaca, Anita menikmati kue manis itu. 
Tanpa menoleh, Anita menangkap gerakan pemuda berkaos santai dan bercelana robek (khas anak kuliahan) itu juga mencomot kue yang sama. Anita hanya mencuri pandang dari sudut matanya, tanpa mengalihkan pandangannya ke buku yang dibacanya.Dalam hati ia berusaha berpikir positif, “Ah, mungkin anak muda ini kepengen, yah..biarlah dia mencoba satu dua potong kue..”
Namun, ternyata pemuda ini tidak berhenti mengambil satu per satu kue dalam toples itu, sambil memainkan gadget di tangannya. Anita mulai kehilangan konsentrasi, dia tidak nyaman melihat pemuda ini seakan-akan tidak punya sopan santun, mengambil kue miliknya tanpa permisi, bahkan tanpa merasa bersalah seperti itu. Namun, ia juga bingung, apa yang harus dilakukannya. Anita tidak enak melarang karena takut dipikir pelit. Tapi dengan gaya pemuda yang tak merasa bersalah sama sekali itu, Anita semakin kesal. Kesal yang akhirnya hanya mampu disimpannya dalam hati. Kesal yang akhirnya menjadi marah, namun tak bisa dilampiaskan karena dia sama sekali tak tahu bagaimana cara mengungkapkan kekesalannya tersebut.
Hingga akhirnya potongan kue terakhir tersisa dalam toples itu. Kali ini Anita bertekad bulat, tidak mau kalah dengan pemuda asing itu. Dengan mengumpulkan kekuatan dalam dirinya, dia bersiap mengambil kue terakhir sambil menatap ke arah pemuda itu. Tatapan mereka beradu, karena pada saat yang sama sang pemuda rupanya juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk memperoleh potongan kue terakhir itu. Bahkan dalam hitungan detik tangan mereka sudah hampir beradu, berebut sepotong kue yang masih tersisa.
Dan…  Anita yang berhasil dengan kecepatan tangannya mengalahkan kecepatan tangan sang pemuda. Rasa puas karena keberhasilannya, langsung berubah menjadi kesal ketika melihat ekspresi sang pemuda yang malah tersenyum sambil tangannya memberi tanda seakan mempersilakan, “Apa-apaan ini.. Kurang ajar banget sih anak ini.. Ga tau diri.. kue siapa.. yang habisin siapa.. pakai acara rebutan lagi.. huuhh.. anak mana sih ini..“ tentu saja gerutuan Anita hanya di dalam hatinya, karena dia tidak enak hati kalau harus bermasalah dengan orang lain, apalagi hanya gara-gara sepotong kue.
Untunglah tak begitu lama, sopir yang ditunggu datang juga. Dengan lega sekaligus geram Anita segera beranjak dari bangku taman itu menuju mobilnya. Masih dengan menggerutu dalam hatinya, Anita memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam tasnya, sekaligus mencari handphone hendak memutar playlist lagu favoritnya untuk setidaknya sedikit memberi ketenangan selama perjalanan pulangnya. 
Namun, tak disangka, tangannya justru menemukan toples kue. Dikeluarkannya dari dalam tas dengan rasa bingung. Dan, ternyata itu adalah kue yang tadi dibelinya, masih utuh, bahkan segelnya pun belum terbuka.
Lalu.. tadi kue siapa? Jangan-jangan... aduh, memikirkannya saja sudah membuat Anita merasa sangat malu. Ingin rasanya menenggelamkan dirinya ke dalam tumpukan jerami yang banyak, sampai tak ada seorangpun menemukannya. Rasa malu yang luar biasa segera memenuhi seluruh perasaannya, ketika dia menyadari bahwa kue yang tadi dibelinya langsung dimasukkan ke dalam tas. Anita sama sekali tidak bisa mengingat dirinya pernah mengeluarkannya lagi. 
Jadi.. yang tadi disangka kue miliknya, itu sebenarnya milik siapa? Lalu, siapa yang tak tahu malu memakan kue orang lain tanpa ijin? Dan, siapa sebenarnya yang tidak tahu diri berebut kue yang bukan miliknya? Dan yang paling parah adalah, kenyataan bahwa dirinya sudah berpikir negatif ke orang yang salah, tanpa menyadari kebenaran bahwa dirinyalah yang salah.
Cerita tentang  Anita, bisa saja saya, dan Anda, alami. Bukan tidak mungkin hanya karena awalnya kita merasa tidak enak, takut akan pendapat orang lain, lalu berakhir dengan kejadian yang sama sekali jauh dari apa yang kita bayangkan sebelumnya. Dan sangat besar kemungkinannya, ketika kita tidak berani mengatakan apa yang kita rasakan dan pikirkan, pada akhirnya membawa kerugian bagi diri kita sendiri. 
Keberanian, kejujuran terhadap diri sendiri, dan keinginan untuk mewujudkan win-win solution, atau yang sering kita pahami sebagai komunikasi yang asertif, memang tidaklah semudah membaca atau mempelajari teknik-tekniknya. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita akan menemui keadaan diri kita yang terpenjara oleh persepsi diri yang belum tentu benar adanya. Ketakutan dinilai pelit seperti yang Anita rasakan, kekhawatiran dinilai orang dingin, atau tidak berperasaan, seringkali jadi musuh terbesar dalam mengimplementasikan komunikasi asertif.
Semua ketakutan itu berasal dari persepsi kita. Jika kita asertif, jangan-jangan orang lain tersinggung. Jika kita asertif jangan-jangan orang lain menilai kita begini begitu, dan akhirnya tidak mau bergaul lagi dengan kita. Jika kita asertif jangan-jangan orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman. Jika dan jika lainnya, sebenarnya hanyalah bayangan menyeramkan yang menghantui dan meresahkan pikiran kita. Tidak pernah benar-benar terjadi sebelum kita mempraktikkannya. 
Siapa yang dirugikan pada akhirnya? Ya kita sendiri, yang sudah takut sebelum kejadian, yang sudah kalah sebelum masuk ke medan pertempuran, yang sudah mundur sebelum memulai. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan komunikasi yang efektif jika kita tidak memulainya dengan asertif? 
Semoga kita tidak mengulang kisah Anita, yang memilih untuk bersikap pasif, tidak mengutarakan perasaan dan pemikirannya. Atau mungkin kita juga bisa terjebak menjadi pasif agresif, yang ditandai dengan ketidakterbukaan ketika menghadapi seseorang (atau sesuatu) namun cenderung menyerang saat tidak berhadapan langsung dengan seseorang (atau sesuatu) tersebut. Pun tidak juga dengan keberanian yang berlebihan yang pada akhirnya menghasilkan komunikasi yang agresif dan merugikan orang lain.

Wednesday, July 15, 2015

Leader dan Hukum Newton [BG-01]

Naaahh... ini tulisan yang pertama saya buat dan jadi perdana untuk diposting di sini.. yang belum tau ceritanya bisa cekidot di sini ya..

Selamat menikmati tulisannya..semoga bermanfaat..




Penggambaran tentang boss vs leader seperti ilustrasi di atas, banyak dan sering kita dapatkan di internet, dibahas dalam training dan pelatihan-pelatihan leadership. Awalnya saya pun memaknainya sebatas teori bahwa seorang leader tidak bisa memimpin dengan cara boss, yang hanya menyuruh, menginstruksi dan mendelegasi saja. Dan itu memang tidak keliru. 

Namun kali ini saya ingin berbagi, tentang bagaimana tipe pemimpin yang bekerja sebagai leader ternyata lebih efektif dalam membawa team nya maju, dibanding dengan cara kerja “boss”.
Saya teringat dengan pelajaran Fisika sewaktu di bangku sekolah, tentang hukum II Newton, yang kira-kira berbunyi demikian : “Laju perubahan kuantitas gerak suatu benda memiliki besar yang sebanding dan arah yang sama dengan gaya resultan yang bekerja pada benda”. Ketika kita menginginkan sebuah benda bergerak/melaju lebih cepat, maka Gaya (F = Force) yang bekerja pada benda tersebut harus lebih besar dan searah dengan laju yang diinginkan. Misal, ingin menggeser sebuah meja ke arah timur. Maka yang bisa kita lakukan untuk mempercepat pergerakan ini adalah dengan menambah orang (F) yang sama-sama membantu kita menggeser meja ke arah timur.

Sepadan dengan hal tersebut, di ilustrasi pertama, seorang boss, digambarkan sebagai seorang yang duduk di singgasananya, dan hanya memberikan perintah. Atasan yang seperti ini, dalam hukum Newton tidak menambah “F” yang searah dan mempercepat laju team. Keberadaan atasan yang tidak memahami kerja team, hanya duduk di tempat kerjanya, tidak mau terlibat apalagi ambil bagian dalam permasalahan team nya justru akan menambah massa, dan beban team tersebut. “F” yang diberikan oleh atasan dalam team ini arahnya justru ke bawah, dan ini bukannya mempercepat laju team, malah “memperberat”.  Team merasa harus ikut memikul beban yang dipandang bukan sebagai tanggung jawab bersama team, tidak ada rasa memiliki, karena mereka merasa ini adalah pekerjaan yang “dilempar” oleh atasannya.

Berbeda dengan ilustrasi kedua. Seorang boss, bukan hanya menjadi bagian dari team, tapi bahkan ikut ambil bagian dalam tanggungjawab yang juga dirasakan oleh anggota teamnya. Atasan seperti ini, bukan menjadi beban, tapi justru berlaku sebagai gaya (F). Sesuai hukum Newton, dengan gaya yang lebih besar, bekerja pada sebuah benda, maka pergerakan benda tersebut semakin cepat. Dengan terlibatnya atasan dalam permasalahan, tugas, dan tanggung jawab team, bukan semata-mata meringankan kerja  team secara fisik, tetapi juga memberi semangat dari dalam. Atasan yang membangun mental memiliki pekerjaan dan permasalahan yang dihadapi oleh team tersebut. Leader yang seperti inilah yang mampu menambah daya dorong bagi team, membuat team merasa “bersama” leader, merasa kuat, merasa mampu dan akhirnya timbul motivasi positif dari team tersebut.

Sebagai seorang leader, seberapa sering kita sudah terlibat, mengambil bagian, dan menjadi bagian dalam team kita? Sudahkah kita menambah gaya (F) yang memacu team kita melaju lebih cepat, atau justru dengan keberadaan kita, bertambah berat beban yang harus mereka tanggung? Gunakan prinsip hukum Newton dalam kepemimpinan kita, dan kita akan mendapatkan team yang bersama-sama melaju kencang.