Thursday, July 23, 2015

Asertif dan Kisah Setoples Kue [BG-02]



Lagi-lagi karena beloman nulis khusus untuk blog ini, saya posting tulisan saya untuk BusinessGrowth, yah... seperti yang pernah ditulis di sini...

Hari yang padat dirasakan oleh Anita di Senin itu. Setelah meeting yang melelahkan bersama beberapa klien, Anita menunggu sopirnya menjemput di sebuah taman kota tak jauh dari meeting terakhirnya. Demi mengusir rasa bosan menunggu, perempuan separuh baya itu membeli setoples kue di toko kue terdekat dari tempat itu.
Sekembalinya dari toko kue, dengan langkah lelahnya, menuju ke sebuah bangku taman yang saat itu masih kosong. Anita segera mengambil dan mulai membaca sebuah buku yang selalu dibawa di dalam tasnya, senjata lain untuk mengusir kebosanan, dan memanfaatkan waktu menunggu. 
Baru saja dia membuka halaman pertama buku itu, seorang pemuda mendekatinya, dan dengan bahasa tubuhnya tersenyum seraya meminta ijin untuk duduk di sebelahnya. Anita membalas dengan senyuman tanda mengijinkan pemuda tersebut untuk berbagi bangku. Sambil terus membaca, Anita menikmati kue manis itu. 
Tanpa menoleh, Anita menangkap gerakan pemuda berkaos santai dan bercelana robek (khas anak kuliahan) itu juga mencomot kue yang sama. Anita hanya mencuri pandang dari sudut matanya, tanpa mengalihkan pandangannya ke buku yang dibacanya.Dalam hati ia berusaha berpikir positif, “Ah, mungkin anak muda ini kepengen, yah..biarlah dia mencoba satu dua potong kue..”
Namun, ternyata pemuda ini tidak berhenti mengambil satu per satu kue dalam toples itu, sambil memainkan gadget di tangannya. Anita mulai kehilangan konsentrasi, dia tidak nyaman melihat pemuda ini seakan-akan tidak punya sopan santun, mengambil kue miliknya tanpa permisi, bahkan tanpa merasa bersalah seperti itu. Namun, ia juga bingung, apa yang harus dilakukannya. Anita tidak enak melarang karena takut dipikir pelit. Tapi dengan gaya pemuda yang tak merasa bersalah sama sekali itu, Anita semakin kesal. Kesal yang akhirnya hanya mampu disimpannya dalam hati. Kesal yang akhirnya menjadi marah, namun tak bisa dilampiaskan karena dia sama sekali tak tahu bagaimana cara mengungkapkan kekesalannya tersebut.
Hingga akhirnya potongan kue terakhir tersisa dalam toples itu. Kali ini Anita bertekad bulat, tidak mau kalah dengan pemuda asing itu. Dengan mengumpulkan kekuatan dalam dirinya, dia bersiap mengambil kue terakhir sambil menatap ke arah pemuda itu. Tatapan mereka beradu, karena pada saat yang sama sang pemuda rupanya juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk memperoleh potongan kue terakhir itu. Bahkan dalam hitungan detik tangan mereka sudah hampir beradu, berebut sepotong kue yang masih tersisa.
Dan…  Anita yang berhasil dengan kecepatan tangannya mengalahkan kecepatan tangan sang pemuda. Rasa puas karena keberhasilannya, langsung berubah menjadi kesal ketika melihat ekspresi sang pemuda yang malah tersenyum sambil tangannya memberi tanda seakan mempersilakan, “Apa-apaan ini.. Kurang ajar banget sih anak ini.. Ga tau diri.. kue siapa.. yang habisin siapa.. pakai acara rebutan lagi.. huuhh.. anak mana sih ini..“ tentu saja gerutuan Anita hanya di dalam hatinya, karena dia tidak enak hati kalau harus bermasalah dengan orang lain, apalagi hanya gara-gara sepotong kue.
Untunglah tak begitu lama, sopir yang ditunggu datang juga. Dengan lega sekaligus geram Anita segera beranjak dari bangku taman itu menuju mobilnya. Masih dengan menggerutu dalam hatinya, Anita memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam tasnya, sekaligus mencari handphone hendak memutar playlist lagu favoritnya untuk setidaknya sedikit memberi ketenangan selama perjalanan pulangnya. 
Namun, tak disangka, tangannya justru menemukan toples kue. Dikeluarkannya dari dalam tas dengan rasa bingung. Dan, ternyata itu adalah kue yang tadi dibelinya, masih utuh, bahkan segelnya pun belum terbuka.
Lalu.. tadi kue siapa? Jangan-jangan... aduh, memikirkannya saja sudah membuat Anita merasa sangat malu. Ingin rasanya menenggelamkan dirinya ke dalam tumpukan jerami yang banyak, sampai tak ada seorangpun menemukannya. Rasa malu yang luar biasa segera memenuhi seluruh perasaannya, ketika dia menyadari bahwa kue yang tadi dibelinya langsung dimasukkan ke dalam tas. Anita sama sekali tidak bisa mengingat dirinya pernah mengeluarkannya lagi. 
Jadi.. yang tadi disangka kue miliknya, itu sebenarnya milik siapa? Lalu, siapa yang tak tahu malu memakan kue orang lain tanpa ijin? Dan, siapa sebenarnya yang tidak tahu diri berebut kue yang bukan miliknya? Dan yang paling parah adalah, kenyataan bahwa dirinya sudah berpikir negatif ke orang yang salah, tanpa menyadari kebenaran bahwa dirinyalah yang salah.
Cerita tentang  Anita, bisa saja saya, dan Anda, alami. Bukan tidak mungkin hanya karena awalnya kita merasa tidak enak, takut akan pendapat orang lain, lalu berakhir dengan kejadian yang sama sekali jauh dari apa yang kita bayangkan sebelumnya. Dan sangat besar kemungkinannya, ketika kita tidak berani mengatakan apa yang kita rasakan dan pikirkan, pada akhirnya membawa kerugian bagi diri kita sendiri. 
Keberanian, kejujuran terhadap diri sendiri, dan keinginan untuk mewujudkan win-win solution, atau yang sering kita pahami sebagai komunikasi yang asertif, memang tidaklah semudah membaca atau mempelajari teknik-tekniknya. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita akan menemui keadaan diri kita yang terpenjara oleh persepsi diri yang belum tentu benar adanya. Ketakutan dinilai pelit seperti yang Anita rasakan, kekhawatiran dinilai orang dingin, atau tidak berperasaan, seringkali jadi musuh terbesar dalam mengimplementasikan komunikasi asertif.
Semua ketakutan itu berasal dari persepsi kita. Jika kita asertif, jangan-jangan orang lain tersinggung. Jika kita asertif jangan-jangan orang lain menilai kita begini begitu, dan akhirnya tidak mau bergaul lagi dengan kita. Jika kita asertif jangan-jangan orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman. Jika dan jika lainnya, sebenarnya hanyalah bayangan menyeramkan yang menghantui dan meresahkan pikiran kita. Tidak pernah benar-benar terjadi sebelum kita mempraktikkannya. 
Siapa yang dirugikan pada akhirnya? Ya kita sendiri, yang sudah takut sebelum kejadian, yang sudah kalah sebelum masuk ke medan pertempuran, yang sudah mundur sebelum memulai. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan komunikasi yang efektif jika kita tidak memulainya dengan asertif? 
Semoga kita tidak mengulang kisah Anita, yang memilih untuk bersikap pasif, tidak mengutarakan perasaan dan pemikirannya. Atau mungkin kita juga bisa terjebak menjadi pasif agresif, yang ditandai dengan ketidakterbukaan ketika menghadapi seseorang (atau sesuatu) namun cenderung menyerang saat tidak berhadapan langsung dengan seseorang (atau sesuatu) tersebut. Pun tidak juga dengan keberanian yang berlebihan yang pada akhirnya menghasilkan komunikasi yang agresif dan merugikan orang lain.

Wednesday, July 15, 2015

Leader dan Hukum Newton [BG-01]

Naaahh... ini tulisan yang pertama saya buat dan jadi perdana untuk diposting di sini.. yang belum tau ceritanya bisa cekidot di sini ya..

Selamat menikmati tulisannya..semoga bermanfaat..




Penggambaran tentang boss vs leader seperti ilustrasi di atas, banyak dan sering kita dapatkan di internet, dibahas dalam training dan pelatihan-pelatihan leadership. Awalnya saya pun memaknainya sebatas teori bahwa seorang leader tidak bisa memimpin dengan cara boss, yang hanya menyuruh, menginstruksi dan mendelegasi saja. Dan itu memang tidak keliru. 

Namun kali ini saya ingin berbagi, tentang bagaimana tipe pemimpin yang bekerja sebagai leader ternyata lebih efektif dalam membawa team nya maju, dibanding dengan cara kerja “boss”.
Saya teringat dengan pelajaran Fisika sewaktu di bangku sekolah, tentang hukum II Newton, yang kira-kira berbunyi demikian : “Laju perubahan kuantitas gerak suatu benda memiliki besar yang sebanding dan arah yang sama dengan gaya resultan yang bekerja pada benda”. Ketika kita menginginkan sebuah benda bergerak/melaju lebih cepat, maka Gaya (F = Force) yang bekerja pada benda tersebut harus lebih besar dan searah dengan laju yang diinginkan. Misal, ingin menggeser sebuah meja ke arah timur. Maka yang bisa kita lakukan untuk mempercepat pergerakan ini adalah dengan menambah orang (F) yang sama-sama membantu kita menggeser meja ke arah timur.

Sepadan dengan hal tersebut, di ilustrasi pertama, seorang boss, digambarkan sebagai seorang yang duduk di singgasananya, dan hanya memberikan perintah. Atasan yang seperti ini, dalam hukum Newton tidak menambah “F” yang searah dan mempercepat laju team. Keberadaan atasan yang tidak memahami kerja team, hanya duduk di tempat kerjanya, tidak mau terlibat apalagi ambil bagian dalam permasalahan team nya justru akan menambah massa, dan beban team tersebut. “F” yang diberikan oleh atasan dalam team ini arahnya justru ke bawah, dan ini bukannya mempercepat laju team, malah “memperberat”.  Team merasa harus ikut memikul beban yang dipandang bukan sebagai tanggung jawab bersama team, tidak ada rasa memiliki, karena mereka merasa ini adalah pekerjaan yang “dilempar” oleh atasannya.

Berbeda dengan ilustrasi kedua. Seorang boss, bukan hanya menjadi bagian dari team, tapi bahkan ikut ambil bagian dalam tanggungjawab yang juga dirasakan oleh anggota teamnya. Atasan seperti ini, bukan menjadi beban, tapi justru berlaku sebagai gaya (F). Sesuai hukum Newton, dengan gaya yang lebih besar, bekerja pada sebuah benda, maka pergerakan benda tersebut semakin cepat. Dengan terlibatnya atasan dalam permasalahan, tugas, dan tanggung jawab team, bukan semata-mata meringankan kerja  team secara fisik, tetapi juga memberi semangat dari dalam. Atasan yang membangun mental memiliki pekerjaan dan permasalahan yang dihadapi oleh team tersebut. Leader yang seperti inilah yang mampu menambah daya dorong bagi team, membuat team merasa “bersama” leader, merasa kuat, merasa mampu dan akhirnya timbul motivasi positif dari team tersebut.

Sebagai seorang leader, seberapa sering kita sudah terlibat, mengambil bagian, dan menjadi bagian dalam team kita? Sudahkah kita menambah gaya (F) yang memacu team kita melaju lebih cepat, atau justru dengan keberadaan kita, bertambah berat beban yang harus mereka tanggung? Gunakan prinsip hukum Newton dalam kepemimpinan kita, dan kita akan mendapatkan team yang bersama-sama melaju kencang.