Lagi-lagi karena beloman nulis khusus untuk blog ini, saya posting tulisan saya untuk BusinessGrowth, yah... seperti yang pernah ditulis di sini...
Hari yang padat dirasakan
oleh Anita di Senin itu. Setelah meeting yang melelahkan bersama beberapa klien,
Anita menunggu sopirnya menjemput di sebuah taman kota tak jauh dari meeting
terakhirnya. Demi mengusir rasa bosan menunggu, perempuan separuh baya itu membeli
setoples kue di toko kue terdekat dari tempat itu.
Sekembalinya dari
toko kue, dengan langkah lelahnya, menuju ke sebuah bangku taman yang saat itu masih
kosong. Anita segera mengambil dan mulai membaca sebuah buku yang selalu dibawa
di dalam tasnya, senjata lain untuk mengusir kebosanan, dan memanfaatkan waktu menunggu.
Baru saja dia membuka
halaman pertama buku itu, seorang pemuda mendekatinya, dan dengan bahasa tubuhnya
tersenyum seraya meminta ijin untuk duduk di sebelahnya. Anita membalas dengan senyuman
tanda mengijinkan pemuda tersebut untuk berbagi bangku. Sambil terus membaca,
Anita menikmati kue manis itu.
Tanpa menoleh,
Anita menangkap gerakan pemuda berkaos santai dan bercelana robek (khas anak kuliahan)
itu juga mencomot kue yang sama. Anita hanya mencuri pandang dari sudut matanya,
tanpa mengalihkan pandangannya ke buku yang dibacanya.Dalam hati ia berusaha berpikir
positif, “Ah, mungkin anak muda ini kepengen, yah..biarlah dia mencoba satu dua
potong kue..”
Namun, ternyata pemuda
ini tidak berhenti mengambil satu per satu kue dalam toples itu, sambil memainkan
gadget di tangannya. Anita mulai kehilangan konsentrasi, dia tidak nyaman melihat
pemuda ini seakan-akan tidak punya sopan santun, mengambil kue miliknya tanpa permisi,
bahkan tanpa merasa bersalah seperti itu. Namun, ia juga bingung, apa yang
harus dilakukannya. Anita tidak enak melarang karena takut dipikir pelit. Tapi dengan
gaya pemuda yang tak merasa bersalah sama sekali itu, Anita semakin kesal.
Kesal yang akhirnya hanya mampu disimpannya dalam hati. Kesal yang akhirnya menjadi
marah, namun tak bisa dilampiaskan karena dia sama sekali tak tahu bagaimana cara
mengungkapkan kekesalannya tersebut.
Hingga akhirnya potongan
kue terakhir tersisa dalam toples itu. Kali ini Anita bertekad bulat, tidak mau
kalah dengan pemuda asing itu. Dengan mengumpulkan kekuatan
dalam dirinya, dia bersiap mengambil kue terakhir sambil menatap ke arah pemuda
itu. Tatapan mereka beradu, karena pada saat yang sama sang pemuda rupanya juga
tidak mau kehilangan kesempatan untuk memperoleh potongan kue terakhir itu.
Bahkan dalam hitungan detik tangan mereka sudah hampir beradu, berebut sepotong
kue yang masih tersisa.
Dan… Anita yang berhasil dengan kecepatan tangannya
mengalahkan kecepatan tangan sang pemuda. Rasa puas karena keberhasilannya,
langsung berubah menjadi kesal ketika melihat ekspresi sang pemuda yang malah
tersenyum sambil tangannya memberi tanda seakan mempersilakan, “Apa-apaan ini..
Kurang ajar banget sih anak ini.. Ga tau diri.. kue siapa.. yang habisin
siapa.. pakai acara rebutan lagi.. huuhh.. anak mana sih ini..“ tentu saja
gerutuan Anita hanya di dalam hatinya, karena dia tidak enak hati kalau harus
bermasalah dengan orang lain, apalagi hanya gara-gara sepotong kue.
Untunglah
tak begitu lama, sopir yang ditunggu datang juga. Dengan lega sekaligus geram
Anita segera beranjak dari bangku taman itu menuju mobilnya. Masih dengan
menggerutu dalam hatinya, Anita memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam
tasnya, sekaligus mencari handphone hendak memutar playlist lagu favoritnya
untuk setidaknya sedikit memberi ketenangan selama perjalanan pulangnya.
Namun, tak
disangka, tangannya justru menemukan toples kue. Dikeluarkannya dari dalam tas
dengan rasa bingung. Dan, ternyata itu adalah kue yang tadi dibelinya, masih
utuh, bahkan segelnya pun belum terbuka.
Lalu.. tadi
kue siapa? Jangan-jangan... aduh, memikirkannya saja sudah membuat Anita merasa
sangat malu. Ingin rasanya menenggelamkan dirinya ke dalam tumpukan jerami yang
banyak, sampai tak ada seorangpun menemukannya. Rasa malu yang luar biasa
segera memenuhi seluruh perasaannya, ketika dia menyadari bahwa kue yang tadi
dibelinya langsung dimasukkan ke dalam tas. Anita sama sekali tidak bisa
mengingat dirinya pernah mengeluarkannya lagi.
Jadi.. yang
tadi disangka kue miliknya, itu sebenarnya milik siapa? Lalu, siapa yang tak
tahu malu memakan kue orang lain tanpa ijin? Dan, siapa sebenarnya yang tidak
tahu diri berebut kue yang bukan miliknya? Dan yang paling parah adalah,
kenyataan bahwa dirinya sudah berpikir negatif ke orang yang salah, tanpa
menyadari kebenaran bahwa dirinyalah yang salah.
Cerita tentang
Anita, bisa saja saya, dan Anda, alami. Bukan
tidak mungkin hanya karena awalnya kita merasa tidak enak, takut akan pendapat
orang lain, lalu berakhir dengan kejadian yang sama sekali jauh dari apa yang
kita bayangkan sebelumnya. Dan sangat besar kemungkinannya, ketika kita tidak berani
mengatakan apa yang kita rasakan dan pikirkan, pada akhirnya membawa kerugian bagi
diri kita sendiri.
Keberanian,
kejujuran terhadap diri sendiri, dan keinginan untuk mewujudkan win-win
solution, atau yang sering kita pahami sebagai komunikasi yang asertif, memang tidaklah
semudah membaca atau mempelajari teknik-tekniknya. Dalam kehidupan kita sehari-hari
kita akan menemui keadaan diri kita yang terpenjara oleh persepsi diri yang
belum tentu benar adanya. Ketakutan dinilai pelit seperti yang Anita rasakan,
kekhawatiran dinilai orang dingin, atau tidak berperasaan, seringkali jadi musuh
terbesar dalam mengimplementasikan komunikasi asertif.
Semua
ketakutan itu berasal dari persepsi kita. Jika kita asertif, jangan-jangan
orang lain tersinggung. Jika kita asertif jangan-jangan orang lain menilai kita
begini begitu, dan akhirnya tidak mau bergaul lagi dengan kita. Jika kita
asertif jangan-jangan orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman. Jika dan
jika lainnya, sebenarnya hanyalah bayangan menyeramkan yang menghantui dan
meresahkan pikiran kita. Tidak pernah benar-benar terjadi sebelum kita
mempraktikkannya.
Siapa yang
dirugikan pada akhirnya? Ya kita sendiri, yang sudah takut sebelum kejadian,
yang sudah kalah sebelum masuk ke medan pertempuran, yang sudah mundur sebelum
memulai. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan komunikasi yang efektif jika kita
tidak memulainya dengan asertif?
Semoga kita
tidak mengulang kisah Anita, yang memilih untuk bersikap pasif, tidak
mengutarakan perasaan dan pemikirannya. Atau mungkin kita juga bisa terjebak
menjadi pasif agresif, yang ditandai dengan ketidakterbukaan ketika menghadapi
seseorang (atau sesuatu) namun cenderung menyerang saat tidak berhadapan
langsung dengan seseorang (atau sesuatu) tersebut. Pun tidak juga dengan
keberanian yang berlebihan yang pada akhirnya menghasilkan komunikasi yang
agresif dan merugikan orang lain.